Fujoz

— feels — . . . . .

“Ethan.”

”...”

“Udah tidur?”

“Berisik.”

Jeffrey mengulum bibir, “Oke, maaf—maaf.”

”...”

'Besok aja deh' ujar Jeffrey dalam hati.

“Kenapa?”

“Loh, kenapa bangun? Ayo lanjut lagi tidurnya—”

“Tadi gue udah mau ke alam mimpi, malah lo panggil jadi gagal.”

“Pfft.”

“Lo ngetawain gue?!”

“Enggak kok, lagian siapa juga yang ketawa?”

Ethan memutar bola matanya malas.

“Matanya jangan di puter-puter, nanti copot loh.”

“Tadi mau ngomong apa?”

Jeffrey mengelus lembut rambut Ethan. “Besok aja ya, kita tidur dulu sekarang.”

“Gue gak akan tidur sebelum elo kasih tau.”

“Ethan.”

“Jeff.”

Jeffrey menghela nafas pelan, “Oke, fine. Tapi nanti langsung tidur, ya?”

Ethan mengangguk patuh.

“Kamu inget pembicaraan kita di chat, gak?”

“Yang mana?”

— 🛌💕 —

. . . . .

Tok tok tok

“Than? Aku masuk ya?”

Ethan tersentak, dengan cepat ia bangun dan beranjak dari ranjang. “B-bentar! Jangan masuk dulu, Jeff!” jawabnya panik. Aduh, tadi pintu kamarnya gue kunci ga ya??? Shit, piyama gue mana?!

Ngomong-ngomong, Ethan masih dalam kondisi memakai lingerie pemberian Jeffrey. Ia tadi berniat tidur hanya memakai itu, karena terlalu malas untuk ganti baju lagi.

“K-kenapa? Ada apa?” tanya Ethan setelah membuka pintu kamarnya.

Jeffrey terhenyak begitu melihat sosok dihadapannya. Matanya bergulir menatap dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia menggeleng kecil seraya mengulum bibir, menahan senyum.

Ethan mengerutkan dahi, “Ada yang lucu?”

Tanpa menjawab, Jeffrey mengulurkan tangannya dan menyentuh kancing baju piyama Ethan—

“Heh! Mau ngapain lo, Jeff?!”

—tapi langsung ditepis.

“Itu, baju kamu miring. Mau aku benerin tadi.” tunjuk Jeffrey.

Ethan menunduk dan mendapati kancing bajunya yang tidak beraturan. Spontan kedua tangannya menutup perut buncitnya—yang sedikit terlihat, karena ada beberapa kancing yang tidak terpasang dengan benar. Wajahnya pun mulai memerah.

“Balik badan!” titah Ethan.

“Eh? Ngapain?” tanya Jeffrey bingung.

“Gak usah banyak tanya, cepet balik badan! Jangan balik lagi sebelum gue kasih aba-aba!”

Jeffrey melihat gerak-gerik Ethan, lalu mengangguk paham. “Iya, iya.”

“Jangan ngintip!”

“Iyaaaaa.”

Dengan tergesa-gesa, Ethan mulai melepaskan kancing bajunya satu-persatu, kemudian ia kembali memasangnya.

“Udah belum?”

“Belum!”

Ck, lama banget. Perlu bantuan, gak?”

“Gak.”

“Oke.”

”...”

”...”

“Udah, lo boleh berbalik sekarang.” ujar Ethan saat kancing terakhir terpasang. “Oh ya, kok lo tadi nawarin bantuan? Emangnya lo tau, gue lagi ngapain?”

Jeffrey berbalik dan tersenyum manis. “Apa sih yang gak aku tau tentang kamu?”

Ewh, norak.”

“Hehe.”

Btw, lo ada perlu apa sama gue?”

“Emm.. Ga ada apa-apa sih.”

Ethan merenyit heran, “Kalo ga ada—”

“Tidur bareng, yuk?” potong Jeffrey cepat.

“Hah, tidur?”

“Iya, tidur.” ujar Jeffrey dengan senyum lebarnya.

Ethan diam sejenak, lalu matanya melebar begitu sesuatu melintas di pikirannya. “Jangan bilang lo jadi horny karna tadi gue kirim—”

Jeffrey menggeleng cepat, “Bukan—bukan! Astaga, bukan 'tidur' itu yang aku maksud, Ethan. Tapi beneran tidur. Kita tiduran, terus tutup mata, gitu.”

Ethan memincingkan matanya, menatap Jeffrey curiga.

“Aku ga bohong, swear! Boleh, ya? Ya ya ya, please?”

Ethan menghela nafas pelan dan berbalik. “Yaudah, cepet masuk. Gue udah ngantuk.”

Jeffrey tersenyum lebar, ia berjalan masuk ke kamar dan ikut berbaring di ranjang bersama Ethan.

“Jeff.” sinyal peringatan dari Ethan begitu merasakan tangan kekar melingkar di perutnya.

Shh, ayo kita bertiga tidur.” Jeffrey mengecup ringan bahu Ethan. “Good night, Ethan.”

Ethan hanya bisa menghela nafas pelan dan mulai memejamkan matanya.

Juga senyum kecil terpantri di wajah manisnya.

Jshsudjdndj

“Mami!”

“Kamu sudah mengecewakan mami dan papi, Ethan.”

Ethan menggigit bibir bawahnya.

“Besok kita pergi dari sini.”

“Saya mohon, jangan pisahkan kami berdua. Saya sangat amat menyayangi Ethan, saya mencintainya!”

“Kalau kamu memang menyayangi anakku, menjauhlah darinya. Biarkan dia pergi dan menyelesaikan studinya. Setelah Ethan menyelesaikan studinya, kalian baru boleh bertemu.”

“Tapi—”

“Kamu sudah menghancurkan masa depannya. Karna kamu, anakku berani membohongiku dan menghentikan studinya.”

“Kalian boleh berkomunikasi tapi tidak boleh bertemu sampai anakku lulus!”

“Ayo Ethan, kita pulang.”

“Kamu mau ikut mami dan papi, atau namamu dicoret dari daftar keluarga?”

Ethan mengangguk pelan.

Putra Adinata dipanggil nata sama zaidan, gada alesan khusus tapi ya lucu aja katanya.

Zaidan Ardito dipanggil jay sama putra, katanya sih kalo manggil zaidan itu kepanjangan, jadi sama dia dipanggil jay aja biar simple!

Temen2nya manggil putra itu ya putra Temen2nya manggil zaidan itu ya zaidan

Jaehyun kini berada dihadapan lelaki mungil ayunan itu.

“Um, dek?”

Pria yang tengah menunduk, bersandar pada rantai ayunan seraya memejamkan mata dengan AirPods terpasang ditelinganya, mendongak dan menatap pria dihadapannya.

Jaehyun sejenak terpaku dengan pria dihadapannya. wajahnya separuh terkena sinar rembulan di tengah malam.

“Adek ngapain sendirian tengah malem begini?”

Mata pria itu menyipit.

“Mobil itu punya kamu, 'kan?” tanya Jaehyun seraya menunjuk ke arah mobil. “Mending kamu pulang sekarang, orang tua kamu pasti khawatir.”

Lelaki diayunan itu menatap Jaehyun dari ujung atas ke bawah.

Jaehyun menaikkan alisnya. “Dek? Kamu bisa denger, 'kan?”

“Jaehyun?”

Jaehyun terkejut, ia cukup heran dengan pria dihadapannya. “Hah?”

“Kamu Jung Jaehyun, benar?”

“Kok?”

Lelaki itu tersenyum manis, ia beranjak dari ayunan dan berdiri dihadapan Jaehyun. “Saya Lee Taeyong, orang yang membawa kamu ke rumah sakit pagi ini.”

Mata Jaehyun melebar, refleks mundur beberapa langkah. “P-pak boss?”

Taeyong tertawa kecil saat mendengar sebutannya. “Pak boss? Maksud kamu, saya?”

Maaf, kemarin saya tidak bisa menemani kamu hingga sadar.”

“Saya sudah mengirimmu pesan pagi ini, apa kamu sudah membacanya?”

“U-udah saya baca.” jawab Jaehyun gugup. Ia masih terpesona oleh suara tawa kecil yang mengalun ditelinganya, begitu lembut dan indah. “Tapi ga dibales lagi sama bapak.”

Taeyong terkejut. “Oh? Udah kamu balas?” ia mengecek ponselnya namun baas, layarnya hitam. Pertanda baterainya sudah habis. Ia meringis, menatap Jaehyun memelas. “Saya hari ini sangat sibuk, tidak sempat melihat pesan masuk selain dari kerjaan.”

Jaehyun tersenyum lembut. “Gapapa, pak, lagipula ga terlalu penting kok.”

“Tapi—”

“Ngomong-ngomong, bapak ngapain sendirian disini? Baru pulang dari kantor, ya?” Jaehyun mengalihkan pembicaraan.

Taeyong tersenyum, ia menggeleng pelan. “Saya cuma lagi cari angin aja. Kalo kamu, ngapain disini?”

“Mau ngebasket, pak.” ujar Jaehyun seraya menunjukkan bola.

“Malem-malem gini? Apa kamu ga di marahin sama orang tua kamu?”

“Udah biasa kok. Jadi mereka udah memaklumi. Haha”

“Hm, gitu..”

“Bapak mau ikut main?”

“Hah?”

“Kita one on one, pak.”

Taeyong tertawa ringan. “Saya ga bisa main basket, Jaehyun.”

“I can teach you.”

“Are you sure? Saya bahkan ga bisa dribble bola, loh.”

“Tapi bapak bisa dribble hati saya, kan?”

“Huh?”

Jaehyun terkekeh kecil, ia menggeleng pelan dan tersenyum menampilkan deretan giginya.

“Bapak ga usah khawatir, saya ini udah pro.”

Taeyong tertawa. “Okay. Mari kita lihat seberapa pro nya kamu.”

“Tentu.”

Tinggi Ethan sebatas hidungnya, “Than?”

Jeffrey mengeringkan tangannya, ketika ia hendak berbalik, Ethan mengeratkan pelukannya.

“Kenapa?”

“Ngantuk.”

“Yaudah ayo tidur.”

Tangannya melonggar dan Jeffrey memutar tubuhnya.

“Males jalan.”

“Sini, kaki kamu naik ke atas kaki aku.”

“Diinjek?” Jeffrey mengangguk. “Emangnya ga sakit?”

“Engga, kamu ringan kok. Meski udah berbadan dua.”

Ethan meninju pelan perut Jeffrey.

“Nah.”

“Trus?”

“Pegangan yang kuat.”

Ethan terkekeh kecil. “Masih jauh?”

“Baru setengah jalan, siap-siap tikungan tajam!”

“Sudah sampai tujuan, Tuan Lee.”

“Jeff.”

“Hm?”

“Tidur sini.”

“Mau ditemenin?” Ethan mengangguk. “Babynya yang mau.” gumamnya pelan.

“Oke. Aku cuci muka sama sikat gigi dulu, nanti balik lagi.”

Ethan menarik selimutnya menutupi seluruh wajah.

'Aaaaa tadi gue ngapain?!'

Jeffrey mengepakkan pakaiannya seraya melirik-lirik ethan yang tengah memainkan ponselnya dikasur.

“Kamu gak marah, kan?” tanya Jeffrey dengan hati-hati, ia merasa tidak enak pada Ethan.

“Gapapa, lagian perusahaan lo lebih penting daripada gue.”

Jeffrey menghela nafas kasar.

Benar, itu tentang perusahaannya. Jessica memberitahunya jika ada masalah di kantornya. Tapi kalo masalah penting, tentunya ethan lebih penting dari segalanya.

“Kalo kamu keberatan, aku bisa tolak—”

“Jeffrey.”

“Lo itu CEO nya, lo harus tanggung jawab.”

“Tapi, Ethan..”

“Oke.”

“Nanti kita liburan lagi kapan-kapan, kamu yang nentuin tempatnya ya.”

Ethan hanya bergumam sebagai balasan.

Jujur, ia sedikit kecewa karna liburannya terlalu cepat. Padahal ia sudah merencanakan akan pergi ke pantai dan bermain pasir disana. Tapi apa daya? Ia hanya bisa menurut pada pria itu, karna dia bukan siapa-siapa. Ia sadar diri, hanya penumpang.

“Ethan, sini!”

“Gak mau!”

“Mau aku seret atau jalan sendiri?”

Ethan mendecak sebal.

“Mau apa sih? Uwaa—!”

“A-apa?”

“Jangan ditutup dong.”

“Perut gue jelek, buncit.”

Jeffrey terkekeh. “Mana ada, sexy gini kok.”

“Sex— lo ngeledek gue ya?!”

“Engga.” “Aku suka gimana pun bentuk tubuh kamu, Ethan.”

“You looks so beautiful.”

“Mulut.

“Kamu colek gini, trus di jilat biar tau rasa—

—nya.”

“Kenapa?”

Ethan melotot, ia spontan mundur kebelakang dan hampir jatuh— jika tidak di tangkap oleh jeffrey.

“Hati-hati!”

Jantung Ethan berdetak 2x lebih cepat, matamya bergulir tidak menatap mata jeffrey yang menatapnua intens.

“T-thanks..” Gumam ethan pelan.

Ethan meneguk ludah kasar.

“Um.. Jeff, bisa lo lepasin?”

“Hallo? Jeffrey disana?”

Je—hmpphh

Jeffrey mengangkat tubuh ethan mendudukinya diatas pantry, mengukungnya, menciumnya lagi lebih dalam. Tidak penuh nafsu tapi seolah menyalurkan perasaannyam dan itu membuat ethan menghangat.

Jeffrey melepaskan ciumannya, menempelkan dahi mereka seraya terengah engah, nafas menerpa wajah masing2 saling menatap satu sama lain dalam diam.

“I love u”

“You are mine, Ethan.” Bisiknya pada telinga ethan sebelum ia menghisap kuat leher dan memberikan tanda kemerahan disana dan mengecup ribgab hasil karyanya.

Jeffrey tersenyum bangga. Entah dia tidak memikirkan jawaban tidak peduli, yang penting ia merasa sedikit lega karna telah memberifahu perasaannya.

“Ayo, kita lanjut masaknya. Sayang.”