— Penjelasan —
“Ethan.”
“Aku minta maaf.”
“Aku mau jelasin yang tadi.”
“Dengerin aku dulu, ya?”
“Please?”
Ethan menghela nafas jengah. “Gue denger. Kalo lo mau jelasin, jelasin aja. Kuping gue keduanya masih berfungsi.”
“Kamunya nengok sini dong.” pinta Jeffrey dengan nada memelas.
“Gak.”
Jeffrey menarik nafas dalam sebelum beranjak dari sofa dan berlutut di hadapan pria mungil itu. Ia meraih kedua tangan Ethan, menggenggamnya dengan erat— karna sang empunya sempat memberontak. Dengan lembut Jeffrey mengusap punggung tangan mungil itu dengan ibu jarinya, mencoba menenangkan.
“Ayo kita pergi keluar.” ujarnya.
Ethan mengangkat sebelah alisnya, merasa heran dengan ajakan pria di hadapannya.
“Kamu bilang bosen di apart, 'kan? Ayo sekarang kita pergi ke tempat yang kamu mau.” Jeffrey memberi jeda. “Anywhere but around here.”
Ethan sontak menoleh setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Jeffrey, ia mendecih dan tersenyum mengejek.
“Ha! Udah gue duga! Liat, dari perkataan lo barusan— intinya lo itu ga mau kalo gue ke kantor, 'kan? Lo ga mau dipermalukan, 'kan? Lo ga mau reputasi lo sebagai seorang Direktur rusak, 'kan? Lo malu kalo gue menginjakkan kaki ke perusahaan lo, iya 'kan?!!” tanyanya beruntun dengan wajah memerah dan nafas terengah-engah.
Jeffrey diam, matanya dengan tenang menyorot lurus pada iris —hitam legam nan besar— milik Ethan yang sedikit terhalang oleh gumpalan air mata di kelopak mata.
Setelah dirasa nafas Ethan sedikit teratur dan mulai tenang, Jeffrey membuka mulutnya. “Bukan gitu.” ujarnya pelan.
Ethan menatap Jeffrey dengan sedikit kerutan di dahinya.
“Aku ngelarang kamu ke kantor karna aku masih inget sama kesepakatan kita dulu.” tatapan Jeffrey melembut. “About your pregnancy.”
Ethan terdiam.
“Bukannya kamu ga mau, kalo ada orang lain yang tau tentang hal ini? To be honest, aku pribadi sebenernya ga masalah tentang kamu yang mau ke kantor aku. Aku malah seneng.” Jeffrey tersenyum tipis. “Tapi balik lagi ke kamu. Apa kamu bener-bener yakin mau ke kantor aku dan ngebiarin semua orang di sana tau kondisi kamu saat ini? Apa kamu ga masalah sama itu?”
Ethan menunduk perlahan, pikirannya kembali berputar.
“Apa ga akan bikin kamu sakit hati dan kepikiran, kalau misal ada yang ngomongin hal buruk tentang kamu?” Jeffrey terhenyak sebentar, ia mengeratkan genggamanya. “Aku khawatir sama kamu. Aku ga mau kamu kenapa-kenapa, Ethan.”
Ethan mengigit bibir bawahnya, bahunya mulai bergetar dan tangisnya pecah.
Jeffrey segera bangkit dan menarik Ethan ke dalam pelukannya. Ia mengusap lembut punggung serta belakang kepala lelaki mungil itu.
“It's okay, It's okay..” Jeffrey mengecup pucuk kepala Ethan berkali-kali dan menggumamkan beberapa kalimat penenang. “Maaf karna tadi aku udah nuturin banyak kalimat ke kamu, maaf.”
Ethan menggeleng lemah, dengan perlahan ia melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Jeffrey— membalas pelukan hangat pria itu.
“Hiks.. A-aku yang harusnya minta maaf, Jeff.” ujar Ethan sesegukkan. “Aku egois d-dan ga mikirin hal—”
“Sshh.. It's not your fault. Ga usah minta maaf, sayang.” Jeffrey menarik dirinya, menjauhkan Ethan dari pelukan. Hatinya mencelos begitu melihat wajah pujaan hatinya yang sedikit kacau— namun masih tetap terlihat sangat cantik di matanya. Ia menangkup wajah mungil itu kemudian dengan lembut jemarinya mengusap jejak air mata di sana.
Ethan menutup mata perlahan, menikmati sentuhan dingin pada wajahnya. Walaupun tangan itu terasa dingin, tapi entah mengapa hatinya menghangat dan ia merasa sangat nyaman. Nafasnya pun mulai teratur dan sudah kembali tenang.
“Masih mau pergi keluar?” tanya Jeffrey lembut.
Ethan membuka kelopak mata, tatapannya bertemu dengan sepasang iris kecoklatan yang begitu indah. Mata itu terlihat begitu teduh dan damai. Dari jarak sedekat ini, ia baru menyadari bahwa pria di hadapannya itu sangat tampan dan sempurna. Mata Ethan terus mengamati seluruh wajah Jefrrey dan berakhir pada bibir tebal yang terlihat sangat kenyal dan lembut itu.
”...”
Seketika darah Ethan berdesir di dalam tubuh dan jantungnya berdetak begitu cepat. Wajahnya terasa panas.
“Ethan?”
“Y-ya?” jawab Ethan gugup, suaranya tercekat. Iris legamnya beralih ke arah lain, tidak berani menatap langsung mata pria di hadapannya. Ia juga berusaha sekuat tenaga mengatur degub jantungnya yang tidak beraturan.
“Gimana jadinya?” tanya Jeffrey lagi dan dibalas dengan gelengan lemah oleh lelaki mungil itu. “Yakin, hm? Gapapa nih kemauan dedek bayinya ga diturutin?” satu tangannya beralih merapihkan poni Ethan yang sedikit lepek.
“Em.”
“Terus sekarang kamu mau apa? Nanti bakal aku kabulin.”
Ethan kembali memeluk Jeffrey, menelusupkan wajahnya di ceruk leher pria itu— menyembunyikan rasa gugupnya. Perasaan aneh ini membuatnya gelisah, ia bahkan tidak peduli jika Jeffrey dapat mendengar atau merasakan detak jantungnya yang tidak normal itu. “Mau bobo.” gumamnya pelan.
Jeffrey tersenyum lembut, paham jika Ethan mungkin merasa lelah karna emosinya yang terkuras tadi. Ia mengangguk kecil kemudian mengangkat tubuh mungil itu ala brydal, membawanya langsung ke kamar.