Fujoz

— Penjelasan —

“Ethan.”

“Aku minta maaf.”

“Aku mau jelasin yang tadi.”

“Dengerin aku dulu, ya?”

Please?”

Ethan menghela nafas jengah. “Gue denger. Kalo lo mau jelasin, jelasin aja. Kuping gue keduanya masih berfungsi.”

“Kamunya nengok sini dong.” pinta Jeffrey dengan nada memelas.

“Gak.”

Jeffrey menarik nafas dalam sebelum beranjak dari sofa dan berlutut di hadapan pria mungil itu. Ia meraih kedua tangan Ethan, menggenggamnya dengan erat— karna sang empunya sempat memberontak. Dengan lembut Jeffrey mengusap punggung tangan mungil itu dengan ibu jarinya, mencoba menenangkan.

“Ayo kita pergi keluar.” ujarnya.

Ethan mengangkat sebelah alisnya, merasa heran dengan ajakan pria di hadapannya.

“Kamu bilang bosen di apart, 'kan? Ayo sekarang kita pergi ke tempat yang kamu mau.” Jeffrey memberi jeda. “Anywhere but around here.”

Ethan sontak menoleh setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Jeffrey, ia mendecih dan tersenyum mengejek.

“Ha! Udah gue duga! Liat, dari perkataan lo barusan— intinya lo itu ga mau kalo gue ke kantor, 'kan? Lo ga mau dipermalukan, 'kan? Lo ga mau reputasi lo sebagai seorang Direktur rusak, 'kan? Lo malu kalo gue menginjakkan kaki ke perusahaan lo, iya 'kan?!!” tanyanya beruntun dengan wajah memerah dan nafas terengah-engah.

Jeffrey diam, matanya dengan tenang menyorot lurus pada iris —hitam legam nan besar— milik Ethan yang sedikit terhalang oleh gumpalan air mata di kelopak mata.

Setelah dirasa nafas Ethan sedikit teratur dan mulai tenang, Jeffrey membuka mulutnya. “Bukan gitu.” ujarnya pelan.

Ethan menatap Jeffrey dengan sedikit kerutan di dahinya.

“Aku ngelarang kamu ke kantor karna aku masih inget sama kesepakatan kita dulu.” tatapan Jeffrey melembut. “About your pregnancy.”

Ethan terdiam.

“Bukannya kamu ga mau, kalo ada orang lain yang tau tentang hal ini? To be honest, aku pribadi sebenernya ga masalah tentang kamu yang mau ke kantor aku. Aku malah seneng.” Jeffrey tersenyum tipis. “Tapi balik lagi ke kamu. Apa kamu bener-bener yakin mau ke kantor aku dan ngebiarin semua orang di sana tau kondisi kamu saat ini? Apa kamu ga masalah sama itu?”

Ethan menunduk perlahan, pikirannya kembali berputar.

“Apa ga akan bikin kamu sakit hati dan kepikiran, kalau misal ada yang ngomongin hal buruk tentang kamu?” Jeffrey terhenyak sebentar, ia mengeratkan genggamanya. “Aku khawatir sama kamu. Aku ga mau kamu kenapa-kenapa, Ethan.”

Ethan mengigit bibir bawahnya, bahunya mulai bergetar dan tangisnya pecah.

Jeffrey segera bangkit dan menarik Ethan ke dalam pelukannya. Ia mengusap lembut punggung serta belakang kepala lelaki mungil itu.

It's okay, It's okay..” Jeffrey mengecup pucuk kepala Ethan berkali-kali dan menggumamkan beberapa kalimat penenang. “Maaf karna tadi aku udah nuturin banyak kalimat ke kamu, maaf.”

Ethan menggeleng lemah, dengan perlahan ia melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Jeffrey— membalas pelukan hangat pria itu.

“Hiks.. A-aku yang harusnya minta maaf, Jeff.” ujar Ethan sesegukkan. “Aku egois d-dan ga mikirin hal—”

Sshh.. It's not your fault. Ga usah minta maaf, sayang.” Jeffrey menarik dirinya, menjauhkan Ethan dari pelukan. Hatinya mencelos begitu melihat wajah pujaan hatinya yang sedikit kacau— namun masih tetap terlihat sangat cantik di matanya. Ia menangkup wajah mungil itu kemudian dengan lembut jemarinya mengusap jejak air mata di sana.

Ethan menutup mata perlahan, menikmati sentuhan dingin pada wajahnya. Walaupun tangan itu terasa dingin, tapi entah mengapa hatinya menghangat dan ia merasa sangat nyaman. Nafasnya pun mulai teratur dan sudah kembali tenang.

“Masih mau pergi keluar?” tanya Jeffrey lembut.

Ethan membuka kelopak mata, tatapannya bertemu dengan sepasang iris kecoklatan yang begitu indah. Mata itu terlihat begitu teduh dan damai. Dari jarak sedekat ini, ia baru menyadari bahwa pria di hadapannya itu sangat tampan dan sempurna. Mata Ethan terus mengamati seluruh wajah Jefrrey dan berakhir pada bibir tebal yang terlihat sangat kenyal dan lembut itu.

”...”

Seketika darah Ethan berdesir di dalam tubuh dan jantungnya berdetak begitu cepat. Wajahnya terasa panas.

“Ethan?”

“Y-ya?” jawab Ethan gugup, suaranya tercekat. Iris legamnya beralih ke arah lain, tidak berani menatap langsung mata pria di hadapannya. Ia juga berusaha sekuat tenaga mengatur degub jantungnya yang tidak beraturan.

“Gimana jadinya?” tanya Jeffrey lagi dan dibalas dengan gelengan lemah oleh lelaki mungil itu. “Yakin, hm? Gapapa nih kemauan dedek bayinya ga diturutin?” satu tangannya beralih merapihkan poni Ethan yang sedikit lepek.

“Em.”

“Terus sekarang kamu mau apa? Nanti bakal aku kabulin.”

Ethan kembali memeluk Jeffrey, menelusupkan wajahnya di ceruk leher pria itu— menyembunyikan rasa gugupnya. Perasaan aneh ini membuatnya gelisah, ia bahkan tidak peduli jika Jeffrey dapat mendengar atau merasakan detak jantungnya yang tidak normal itu. “Mau bobo.” gumamnya pelan.

Jeffrey tersenyum lembut, paham jika Ethan mungkin merasa lelah karna emosinya yang terkuras tadi. Ia mengangguk kecil kemudian mengangkat tubuh mungil itu ala brydal, membawanya langsung ke kamar.

— Ethan POV —

Gue menguap lebar, terus lirik jam dinding. Masih jam 7.

Gue pun ngelirik ke dapur, ternyata Jeffrey lagi cuci piring, dia udah selesai makan.

Entah ada angin apa, gue beranjak dari sofa terus jalan ke arah dapur.

Gue berenti melangkah ketika sampai tepat dibelakang Jeffrey. Gue gigit bibir bawah begitu liat punggung lebarnya.

Pengen peluk.

Tanpa pikir panjang, tangan gue terulur ke depan dan langsung melingkar di perutnya. Gue pun nenggelemin wajah gue dipunggungnya.

Gue ngerasa dia sedikit kaget, karna badannya berjengit.

“Than?” panggilnya.

“Kenapa?”

“Ngantuk.” gumam gue.

“Yaudah ayo tidur.”

Tangann gue melonggar dan Jeffrey memutar tubuhnya. Gantian dia yang peluk gue.

Gue mendongak, natap Jeffrey. Bibir gue mengerucut. “Males jalan.”

“Sini, kaki kamu naik ke atas kaki aku.”

Gue nunduk, trus natap Jeffrey lagi. “Diinjek?” dia mengangguk. “Emangnya ga sakit?”

“Engga, kamu ringan kok. Meski udah berbadan dua.”

Gue meninju pelan perut Jeffrey.

“Nah.”

“Trus?”

“Pegangan yang kuat.”

Gue ketawa pelan. “Masih jauh?”

“Baru setengah jalan— pegangan yang kenceng! Ada tikungan tajam!”

“Kita sudah sampai tujuan, Tuan Lee.”

Gue pun turun dari kakinya, kaki Jeffrey terlihat merah, kontras dengan kulit putihnya.

“Udah, tidur sana.”

“Jeff.”

“Hm?”

“Tidur sini.”

Jeffrey menghentikan usapannya. “Mau ditemenin?” tanyanya sedikit ragu.

Pipi gue memanas, trus gue buang muka ke arah lain. “Baby-nya yang mau.” gumam gue pelan.

Jeffrey senyum terus ngacak pelan rambut gue. “Oke. Aku cuci muka sama sikat gigi dulu, nanti balik lagi kesini.”

Gue mengangguk pelan.

Begitu Jeffery keluar kamar, gue langsung naik kasur terus tarik selimut sampai nutupi seluruh tubuh gue.

'Aaaaa tadi gue ngapain?!'

— 🌄 —

Ethan POV

Ethan menggeliat pelan dalam tidurnya,

'Tangan?' pikirnya, ia menengok kebelakang dan mengerutkan keningnya begitu mendapatkan Jeffrey tertidur pulas dibelakangnya.

'Kenapa dia disini?' pikirnya lagi. Ethan dengan perlahan membalik tubuhnya, kini ia berhadapan dengan Jeffrey.

Ia menatap Jeffrey yang sedang tertidur, wajahnya begitu tenang dan damai. jika dilihat lihat, Jeffrey

Ethan tersentak begitu melihat pergerakkan dari pria dihadapannya, dengan cepat ia berbalik, kembali seperti posisi awal dan berpura pura tidur.

lenguhan ia dengar, dan jeffrey merapatkan pelukannya, ia merasakan jeffrey menghirup rambutnya.

“Morning... Ethan.” bisiknya pelan dengan suara serak khas bangun tidur. “Morning too, baby Jung.” lanjutnya seraya mengusap lembut perut buncit itu.

setelah itu pelukannya lepas, tapi ia tidak merasakan jeffrey beranjak dari kasurnya, entah apa yang sedang dilakukan.

begitu ethan sedang memikirkannya, tiba tiba saja ia merasakan kecupan ringan pada pucuk kepalanya

ya, jeffrey menciumnya

ethan ingin sekali protes tapi ia urungkan, tetap dalam posisi pura pura tdurnya.

setelah itu ia merasakan jeffrey beranjak dari kasur dan keluar kamar.

begitu mendengar suara pintu tertutup, ethan membukamatanya, memegang dadanya.

“Sialan.”

“Anginnya lagi kenceng, kamu bisa masuk angin kalo kelamaan diluar.”

“Gue lagi nikmatin pemandangan, Jeff.”

“Seenggaknya balut tubuh kamu pake sesuatu yang hangat.”

“Iya iya, bawel.”

“Aku mau istirahat dulu ya? Capek banget nih.” Jeffrey mengecup pelipis Ethan. “Bangunin aku aja kalo kamu butuh sesuatu.”

Ethan hanya berdeham.

“Jangan lama-lama diluar ya.”

— —

“Ah~ kenyang.”

“Susu hamilnya jangan lupa diminum.”

Ethan memutar bola matanya malas. “Iya iya.”

“Jeff.”

“Hm?”

“Lo yang angkut gue ke kamar, ya?”

Jeffrey mengangguk. “Iya.”

“Kamu berat.”

“Gue gak berat ya!”

“Aku ke kamar dulu ya, kalo butuh sesuatu panggil aja.”

“Kamar yang mana? Disini banyak.”

“Yang kamu tidurin sebelumnya.”

“Kenapa disitu?”

“Ya karna itu kamar kita?”

“Kita???”

Jeffrey mengangguk. “Cuma kamar itu yang diberesin.”

“Kenapa?!”

Supaya bisa berduaan sama kamu lah, batin Jeffrey.

“Aku lupa naruh kuncinya dimana.” gumamnya. “Jangan main jauh-jauh, jangan keluar batasan ya.”

“Jeff! Jeffrey!!”

Ethan mendengus. “Alesan macam apa itu?”

— Don't —

Jantung Ethan berpacu dengan cepat begitu membaca chat terakhir dari Jeffrey. “No..” gumamnya dengan bibir sedikit bergetar. Ia tidak mau Jeffrey pergi meninggalkannya.

“Jeff!” Ethan teriak dari dalam, memastikan keberadaan pria itu.

Hening.

Merasa tidak dapat balasan, dengan tergesa-gesa Ethan beranjak dari bathup dan menyambar bathrobe, memakainya asal dengan tubuh masih dalam keadaan basah.

“Jeffrey!”

Kosong, kamar yang semalam ia gunakan tidur bersamanya itu sudah tertata rapih dan tidak ada siapapun disana. Pikiran negatif pun kini berputar-putar dikepalanya.

Dengan cepat Ethan keluar dari kamar, matanya menatap sekeliling ruangan sebelum akhirnya ia menangkap sosok yang familiar berada di dapur, memunggunginya. Seketika tubuhnya lemas, matanya memanas dan pandangannya pun menjadi sedikit buram. “Jeffrey sialan.” gumamnya pelan, ia menarik nafas dalam sebelum bergegas mendekati pria itu.

Akh! Ethan— sakit—” ringis Jeffrey ketika mendapat pukulan bertubi-tubi pada punggung lebarnya, ia membalikkan tubuhnya dan mencengkram kedua tangan Ethan. “Hei— Kenapa aku dipukulin terus?”

Hiks—”

Jeffrey terkejut begitu mendengar sebuah isakan, ia langsung merengkuh tubuh mungil itu dan mengusap lembut belakang kepalanya. “Shh, cup cup.. Kenapa kamu nangis, hm?” tanyanya, tapi Ethan masih bergeming dan menangis didalam dekapannya.

Seketika Jeffrey teringat dengan chat terakhirnya, ia menutup matanya rapat-rapat. Oh, sepertinya dirinya telah membuat kesalahan.

Melepas pelukan, Jeffrey mengangkat tubuh Ethan dan mendudukannya diatas meja pantry.

“Maaf.” Jeffrey menangkup wajah Ethan, mengusap jejak air mata di pipi gembil itu. “Aku disini, Ethan. I'm not going anywhere, don't worry.

“Tadi aku cuma bercanda, maaf.” lanjutnya seraya mengecup kedua mata Ethan.

Bego, Jeffrey bego. Hiks—” lirih Ethan dengan sesegukan. Ia mengatur nafasnya, mencoba menghentikan tangisannya.

“Iya iya, aku bego. Maafin Jeffrey yang bego ini, ya? Hm?”

“Udah jangan nangis, jelek.” Jeffrey tertawa kecil begitu Ethan meninju pelan perutnya. “Pake baju dulu sana, abis itu kita sarapan.”

Ethan mengerenyit kemudian menunduk, matanya melebar begitu menyadari dirinya tidak memakai apapun selain bathrobe. Bahkan bagian bawahnya sedikit tersikap— memamerkan paha mulusnya. Fuck, umpatnya dalam hati.

“M-minggir!” Ethan mendorong tubuh Jeffrey dan langsung pergi bergegas menuju kamar.

“Jangan lari!” teriak Jeffrey seraya terkekeh gemas, ia pun kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

— 🌙 —

“Kamu kenapa sih, hm? Kepikiran sesuatu?” Jeffrey menghentikan pijatan dikaki Ethan—kegiatan yang sering dilakukannya akhir-akhir ini setiap malam, di ruang tv seraya bersantai.

Ethan melirik Jeffrey, jari-jari mungilnya bergerak membuat pola acak. “M-malem ini lo tidur sama gue, ya?” gumamnya pelan. “Jangan salah paham! Ini b-bukan kemauan gue, tapi—”

“Oke.” potong Jeffrey cepat, ia terkekeh saat melihat Ethan mendengus kesal. Sepertinya lelaki mungil itu jengkel karna ucapannya terpotong tadi, pikirnya. “Mau tidur sekarang?”

Ethan mengangguk kecil.

Jeffrey menurunkan kaki Ethan yang sedari tadi berada diatas pangkuannya sebelum beranjak dari sofa. “Yaudah, ayo.”

“Gendong.”

Jeffrey tersenyum, tanpa ragu ia menggendong Ethan ala bridal style dan membawanya menuju kamar. Disepanjang jalan, ia mencuri-curi kesempatan mengecup gemas pelipis lelaki mungil itu. Dan tentu saja dihadiahi tarikan cukup kuat pada rambut tebalnya dari Ethan, tapi ia tidak mempermasalahkan itu.

Setelah membaringkan Ethan di kasur, Jeffrey pun segera merebahkan diri disebelahnya dan menutupi tubuh keduanya dengan selimut tebal.

“Kenapa? Mau peluk?” tanya Jeffrey seraya menatap langit-langit kamar, ia tahu bahwa Ethan sedari tadi memperhatikan dirinya.

Tubuh Ethan tersentak. “E-enggak! Ngomong apa sih lo, ngawur!” dengan cepat ia membalikkan tubuhnya, memunggungi Jeffrey dan menutup matanya erat-erat.

Jeffrey tertawa kecil, ia mendekat dan memeluk Ethan dari belakang. “Udah, tidur. Gak bakal aku apa-apain kok, tenang aja.” ujarnya saat Ethan mencoba melepaskan tangannya yang melingkar ditubuh mungilnya. “Goodnight, Ethan.” ia mengecup pucuk kepala lelaki mungil itu kemudian mengelus lembut perut buncitnya.

You too, baby J. lanjutnya dalam hati.

— 🍂 —

“Jeffrey???” seru Ethan terkejut begitu melihat sosok pria yang ia kenal berada didalam sana.

“Ah, Ethan? Kamu udah bangun?” Jeffrey mencoba bangkit dari posisi tidurnya, sedikit meringis.

Ethan bergegas mendekati ranjang, matanya menangkap sebuah laptop MAC yang tergeletak dengan mengenaskan diatas lantai dekat nakas.

Oh, sepertinya benda itu yang menimbulkan suara dentuman keras tadi.

“Lo daritadi didalem kamar? Gak berangkat kerja?” tanya Ethan tanpa menggubris ucapan Jeffrey.

Pria itu mengangguk pelan.

“Lo sakit ya?”

Jeffrey menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Cuma sakit perut biasa kok, sekarang udah gapapa.”

“Sakit perut? Kenapa bisa—” Ethan terdiam, seketika kejadian kemarin terlintas dipikirannya. Ia menatap Jeffrey dengan pandangan yang sulit diartikan, matanya memanas.

“Eh—kok nangis???” Jeffrey panik saat melihat air mata lolos begitu saja melewati pipi gembil Ethan.

“Maaf Jeff, maaf.. Hiks— Gara-gara gue, lo jadi sakit gini..”

Jeffrey menggeleng pelan. “Ethan—”

“K-kemaren gue emang ngidam makanan itu.. Hiks— Tapi gak tau kenapa— Gue malah pengen makanan itu biar lo yang makan..” Ethan menarik nafasnya dalam. “Harusnya w-waktu itu lo gak usah nurutin perkataan gue.. Hiks— Pasti gak akan kaya gini jadinya..” lanjutnya dengan sesenggukan.

Jeffrey tersenyum lebar, hatinya menghangat mendengar perkataan Ethan barusan. “Enggak, ini bukan gara-gara kamu, Ethan. Lagian aku juga gak keberatan sama sekali waktu itu.” tangannya menangkup wajah pria mungil itu, menghapus jejak air mata disana. “Udah jangan nangis, aku beneran gapapa kok.”

“T-tapi— Huwaaaa..”

“Sshh.. It's okay, Ethan. It's okay.” Jeffrey menarik Ethan kedalam pelukan, tangannya mengusap kepala belakang pria mungil itu dengan lembut. “Kamu pasti belum sarapan ya? Maaf aku gak sempet bikinin tadi. Kamu mau makan apa? Nanti biar aku masak—”

“Gak usah masak, lo lagi sakit, Jeff..” gumam Ethan pelan di ceruk leher Jeffrey.

“Aku udah mendingan, Ethan.”

“Kita pesen aja.”

“Tapi—”

Ethan menarik diri dari pelukan. “Mau gue yang masak?!” ancamnya.

Oh tidak, itu ide buruk.

Ethan & dapur adalah kombinasi yang buruk.

“Jangan! Nanti dapurnya— Eh, maksudnya— Aku gak mau kamu kenapa-kenapa di dapur.” Jeffrey meneguk ludah kasar begitu dapat tatapan tidak mengenakkan dari Ethan. “O-oke, kita pesen makanan aja. Kamu yang pilih ya?” finalnya.

Ethan mengangguk, kemudian ia mengambil ponsel pada sakunya dan mulai memesan makanan lewat aplikasi disana.

“Teo, kamu itu—” Rian berhenti ngomong, dia ngusap wajahnya kasar.

Calm down Rian, lo gak boleh emosi karna nanti Teo bisa nangis. Inget lo udah janji gak bakal bikin dia sedih lagi, ujarnya dalam hati.

Teo cuma bisa nunduk sambil mainin jari-jarinya, dia gak berani ngomong karna takut kalo Ian-nya bakal marah.

Sekarang mereka duduk di pinggir kasur sambil diem-dieman, gak ada yang mau ngomong. Rian lebih milih diem, ngontrol emosinya daripada buka mulut. Teo pribadi gak suka diem-dieman gini, dia gak suka di suasana canggung kaya sekarang ini, gak nyaman.

“Maaf.” akhirnya Teo buka mulut, gak tahan sama suasana kaya gini. “Maafin aku.”

Rian menghela nafas pelan, badannya nyamping ngehadap Teo. “Jangan di ulangi lagi, oke? Yang kamu lakuin tadi itu bener-bener bahaya, ini udah larut banget, gimana kalo pas dijalan kamu—” Jadrian ngegeleng keras, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran negatif. “Aku khawatir sama kamu, Teo.”

Teo noleh, seketika dadanya berdenyut pas liat raut muka Ian-nya yang sedih. “Maaf.” Tapi teo gak bisa diem aja pas tau ada yang berubah sama ian pas di twitter tadi. “Tapi aku emang harus ke sini, kalo enggak, nanti Ian bakal salah paham.”

Rian bingung, dia gak ngerti sama maksud Teo. Baru dia mau buka mulut, bibirnya tiba-tiba udah dibungkam sama bibir si mungil.

Ya, Teo nyium dia.

Rian kaget, banget. Badannya kaku, gak berkutik sama sekali, pikirannya mendadak kosong, bener-bener kayak orang bego.

Seketika Rian sadar pas ngerasain bibirnya di lumat lembut, ian natap wajah teo didepannya. Anak itu matanya ketutup, gerakin bibirnya kaku. Rian bingung harus apa, dia pengen banget bales ciuman itu tapi tahan, dia gak mau kelepasan lagi.

Pertahanan Rian runtuh pas Teo ngisep bibir bawahnya kuat-kuat, dia langsung neken tengkuk Teo, ngebales ciuman amatir teo lebih dalem.

Mereka ciuman tanpa nafsu, begitu lembut seakan menyalurkan perasaannya masing-masing. Tangan Rian yang satu ngerengkuh pinggang Teo, dia tarik biar ngedeket. Teo naik keatas pangkuan Rian, tangannya ngeremet tengkuk rian.

“Teo— Ini—” ucapan Rian kepotong karna Teo ngecup ringan bibir tebelnya.

“Kamu mau bilang ini karna kebawa suasana lagi, Ian?”

Rian diam.

“Aku tau kamu bohong.” Tangan teo ngelus pipi rian lembut. “Orang yang kebawa suasana gak akan sampe ngelakuinnya tiga kali.”

“Tiga kali?”

Teo ngangguk. “Pertama, kamu cium aku pas lagi tidur.” Nafas rian tercekat. “Kedua, pas dimobil waktu itu.” “Dan ke tiga ini, sekarang.”

Rian bungkam, bener-bener bungkam.

“Kamu suka sama aku, Ian?”

Rian diem, habis udah.

“Maaf— Harusnya aku sadar posisi kita cuma sahabatan, gak seharusnya aku punya perasaan lebih sama kamu disaat kamu udah punya orang yang—”

“Orang yang aku suka itu kamu, Ian.” Teo natap Rian dalem. “Apa ciuman tadi itu gak bikin kamu sadar?”

Jadrian diam. Matanya membelalak kaget. “Ah..”

“I love u too, Ian. Maaf karna aku telat nyadar, dan bikin kamu nahan2 perasaan sampe sekarang.”

Mata Jadrian memanas, dia meluk teo, nenggelemin mukanya di ceruk leher teo.

“Ian?” Teo bingung, tubuh rian bergetar, dia juga ngedenger isakan kecil. “Kamu nangis?”

Rian gak ngomong, malah meluk teo makin kenceng.

Teo nenangin rian sambil ngelus ngelus rambutnya lembut. “Kenapa malah nangis, hm?”

“I'm so happy. I love u, Teo. I love u so much.”

Teo senyum, dia ngecup pucuk kepala rian. “Aku juga, I love u too, rian.”

Malem itu malem yang berarti bagi rian. Dia bahagia karna akhirnya perasaannya terbalaskan oleh pria yang dia cintai.

— 🤦‍♂️ —

“Ethan?!” Jeffrey terkejut begitu melihat Ethan berada di ruang kerjanya, ia pun segera beranjak dan menghampiri. “Lo bangun? Kenapa? Masih sakit? Haus? Laper? Ayo balik ke kamar dulu, lo masih perlu istirahat. Nanti kalo lo mau apa-apa, biar gue yang urus.”

Ethan hanya diam saja dan menatap Jeffrey datar.

“Ugh—sorry.” Jeffrey menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Gue terlalu berisik, ya?”

“Lo gak kerja?” tanya Ethan tanpa menggubris ocehan Jeffrey.

Jeffrey menggeleng pelan. “Gue skip.”

“Kenapa?”

“Jagain lo.”

Ethan kembali diam, matanya menatap Jeffrey dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jadi lo yang jemput gue?”

“Iya.”

Menghela nafas pelan, Ethan berbalik dan berjalan ke arah pintu. “Samgyetang.” pintanya tanpa menoleh ke belakang. “Cepet bikinin, gue laper.”

Jeffrey mengangguk cepat. “Oke. Lo tunggu dikamar aja, ya? Nanti gue anter kalo makanannya udah jadi.”

Ethan hanya berdeham, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Jeffrey disana.

Jeffrey yang melihat itu pun hanya bisa mengembuskan nafas kasar, kemudian ia langsung berjalan keluar menuju dapur untuk memasak.